Aku di 17 Tahun
Tepat pukul 00.00 WIB.
‘’Happy B’dAy Gezy, SLamt Ultah yAch yaNg k 17,’’ kulihat rangkaian kata di layar ponselku. Rasa ngantuk yang masih bertengger di kepalaku, memaksaku membuka kelopak mataku untuk mengetik ucapan terima kasih kepada si pengirim. Kemudian kucoba untuk melanjutkan tidurku. Lagi-lagi getar ponselku tak berniat untuk diam. Kucoba meraih ponselku lagi, kulihat tertulis 1 massage, namun tak kuhiraukan. Selang beberapa menit getarnya membuat aku harus membuka mata. Sekarang sudah tertulis 7 massage.
Oke, sekarang aku bangun, batinku.
Kubuka satu-persatu pesan yang masuk, semua berisi pesan yang sama. Sekarang ngantuk di mataku telah pergi. Dengan gesit jari-jariku menekan keyped untuk membalas SMS tersebut. Setelah itu kuletakkan kembali ponselku di samping bantalku.
‘’Masih ada yang ingat hari ulang tahunku,’’ ucapku bangga.
Sekarang aku 17 tahun, semoga semua berjalan dengan baik dan semoga papa cepat sembuh, sambungku sambil berdoa dalam hati dan mencoba untuk tidur kembali. Lima menit, 30 menit dan sekarang sudah pukul 02.00 WIB, dari semua SMS yang masuk ke handphone-ku, tak satu pun tertulis pesan atau telepon dari pacarku, Deri.
Kucoba untuk tenang, mungkin dia ingin membuat kejutan batinku. Deri pacar pertamaku, hari ini di hari ulang tahunku, hubungan kami juga genap 3 bulan. Aku mencoba berpikir semua yang baik tentang dia. Mataku terpejam tapi tidak tidur, otakku membuat rangkaian cerita yang manis. Kucoba mengulang waktu setahun yang lalu di ingatanku. Sesuatu yang harus aku perbaiki dengan bertambahnya umurku. Sesekali bibirku tersenyum ketika ingatanku tiba di waktu Deri berhasil membuatku kagum dan akhirnya tiga bulan lalu dia resmi menjadi pacarku.
Ini ulang tahun pertamaku saat aku punya pacar. Kata orang biasanya yang bakal ngasih selamat pasti pacar, tapi kok enggak kayak cerita-cerita yang kudengar ya, ucapku kecewa pada diri sendiri.
Lama menunggu membuat otakku lelah berpikir dengan imajinasi ku sendiri, aku pun tidur. Aku tak mempedulikan lagi getar di handphone-ku.
Saat sinar mentari pagi menyusup ke celah-celah jendela kamarku, matakupun terbuka. Aku bangun dari tidurku, kulihat ponsel,Tertulis 11 kali miscall dan 8 SMS. Semua dari teman-temanku, tidak ada yang dari Deri. Tapi aku masih tetap berpikir positif tentangnya. Kuambil handuk yang tergantung di belakang pintu kamarku, dan kulangkahkan kaki untuk membersihkan tubuhku.
Liburan semester ini kuputuskan untuk tidak keluar kota. kondisi papa sedang tidak baik. Tiga bulan terakhir ini papa sering bolak-balik ke rumah sakit. Jantung papa tidak lagi bersahabat dengan obat-obat yang diberikan dokter. Terkadang papa terbaring di rumah sakit beberapa hari. Namun sekarang ini papa sudah jauh lebih baik. Terkadang air mataku tak henti keluar jika papa menginap di rumah sakit. Aku ingin papa bersamaku terus, teriakku setiap kali kulihat papa sedang tertidur.
Di rumah ini aku anak tunggal. Aku juga baru menyelesaikan pendidikanku di bangku SMA. Mama sibuk bekerja untuk menstabilkan ekonomi keluargaku dengan kondisi papa seperti sekarang.
Baju kaos putih, celana hitam panjang, sepatu kets dan tas sandang hitam menjadi pilihanku untuk pergi bersama teman-teman ku. Hari ini aku berniat mentraktir kedua sahabatku, Wulan dan Veny. Mereka teman SMA-ku. Hampir beberapa pekan tidak bertemu, banyak cerita yang menjadikan kami lupa waktu. Termasuk ingatanku tentang Deri.
Dari awal aku memang terbiasa sendiri, terkadang meskipun Deri sudah menyandang predikat sebagai pacarku, namun waktuku banyak bersama teman-temanku. Aku sayang dia dan dia sayang aku. Tidak ada masalah dan kami mempunyai kegiatan masing-masing. Kami hanya banyak menggunakan komunikasi melalui handpone dan jarang untuk pergi berdua.
Nonton, makan dan hangout berjam-jam membuat aku, Wulan dan Veny lupa akan jam yang menunjukan pukul lima sore. Aku sudah minta izin kepada Mama. Mama sudah menginzinkan aku pergi karena hari ini aku ulang tahun, apa lagi hari ini hari Ahad. Papa dan mama sudah sepakat hari ini ingin di rumah, mereka tidak ingin ikut bersamaku.
‘’Lan, Ven cabut yuk, dah sore,’’ ajakku sambil meraba isi tasku untuk mengabil handpone, aku panik. Kukeluarkan semua isi tasku tapi ponselku tak ada.
‘’Tinggal di rumah kali Gez,’’ sambung Veny mencoba menenangkan ku.
‘’Kayaknya iya, aku lupa masukin ke dalam tasku tadi,’’ sambungku pasrah ketika aku mencoba mengingat sebelum aku pergi tadi.
‘’Gez, Deri mana?’’ suara Wulan menyadarkanku tentang Deri.
‘’Enggak tahu juga, tadi malam dia enggak nelpon aku, SMS pun tidak. Padahal hari ini aku jadian sama dia juga genap 3 bulan,’’ jawabku sambil menghabiskan makanan di tanganku. Mungkin dia sibuk, atau ponselnya lagi error kali, sambungku lagi.
‘’Kamu yakin nggak ada apa-apa?’’ Sahut Veny dengan muka serius. “Hari ini ulang tahunmu, hari ini juga hari jadian kalian, dia tidak ada sama sekali nemui kamu?”
Aku diam, aku merasa semua baik-baik saja. Mungkin Deri lagi sibuk atau apalah. Ini cuma hari ulang tahun dan hari jadian kami. Bukan hal yang besar, dunia juga tidak bakal runtuh kalau dia lupa dengan hari ini. Aku Cuma nyengir mendengar ucapan Veny.
‘’Gezi, kamu terlalu cuek dengannya, kau sayang dia, tapi kamu tidak perhatian sama dia, nanti nyesel baru tahu rasa,’’ celoteh Wulan panjang-lebar padaku.
Sepanjang perjalanan pulang aku mencoba memutar kembali rekaman ucapan Wulan dan Veny tadi. Aku tidak bisa setenang tadi, rasa cemas hilang- timbul pada diriku.
Tiba di depan rumah, kulihat rumahku sepi. Pintu pun terkunci. Papa dan Mama tidak ada di rumah.
‘’Duh pada ke mana ya, mana handphone-ku tinggal di dalam lagi,” ucapku kesal karena kecerobohanku.
‘’Gezi, mamamu nyuruh ke rumah sakit. Papamu jantungnya kumat lagi. Di rumah sakit biasa tempat papamu berobat,’’ teriak tante Eli dari balik pagar rumahku.
Tanpa pikir panjang aku langsung masuk ke dalam mobilku dan bergegas ke rumah sakit. Jantungku tidak beraturan, cemasku bertambah, wajah papa melekat di ingatanku.
Hentakan kakiku membuat mata di sekitar ruangan rumah sakit melihat ke arahku. Kakiku berhenti seratus meter dari tempat Mama duduk di salah satu kamar rumah sakit. Air mata mama keluar. Wajah mama pucat. Banyak saudara papa dan mama berkumpul di ruangan. Kakiku seperti terikat beban untuk melangkah ke kerumunan keluargaku. Mama sadar akan kedatanganku. Dia menghampiriku dan memelukku erat, erat sekali. Semua mata kasihan tertuju pada kami. Dari kamar keluar sebuah tempat tidur. Di sana sedang tertidur wajah orang yang aku sayangi tertutup kain putih. Kulepaskan pelukan mama dari tubuhku. Kulihat dengan dekat wajah pria yang tertidur itu, air mataku mengalir tak henti.
Kepalaku pusing, nafasku tak beraturan, semua terlihat gelap. Aku tidak ingat apa-apa lagi.
***
Sekarang aku tinggal berdua dengan mama. Kepergian papa sangat terasa bagi kami berdua. Aku pingsan saat di rumah sakit waktu itu. Saat aku sadar, papa sudah dimandikan dan akan di kuburkan. Seperti mimpi paling buruk melihat papa ditimbun dengan tanah, Papa sendiri di sana.
‘’Sayang kita harus ikhlas papa pergi,’’ ucap mama saat masuk ke kamarku.
‘’Iya Ma, aku ikhlas semoga papa dapat tempat yang layang di sisi Yang Maha Kuasa,’’ jawabku seadanya.
Ini ada kado dari Deri, mama lupa bilang sama kamu. Kemarin sebelum papa dibawa kerumah sakit, Deri datang ke sini. Dia juga cari kamu, HP kamu tinggal saat itu jadi mama tidak bisa memberi tahu kamu. Dia pun langsung pamit sama mama,’’ ucap mama sambil memberikan bungkusan pink berukuran besar ketanganku.
‘’Iya, makasih Ma,’’ jawabku singkat pada mama.
Mama pun keluar meninggalkan aku dan bungkusan itu. Sadar akan keberadaan handphone-ku yang sudah tidakku lihat selama sepekan ini, tanganku mencar-cari ponsel itu. Akhirnya kutemukan di selipan ujung kasur tempat tidurku. Tertulis 40 SMS dan 113 kali panggilan tak terjawab. Kubuka panggilan tak terjawab, kulihat deretan nama teman-teman SMA-ku. Deri juga salah satuya.
Dia menghubungiku 43 kali. Kulihat waktu panggilanya. Ini kan ketika aku lagi pergi sama Wulan dan Veny, ucapku pada diri sendiri.
Kubaca juga pesan yang masuk, tertulis selamat ulang tahun dan pesan ucapan duka cita dari teman-temanku. Kuhentikan jemari saatku menemukan pesan dari Deri, ada ucapan selamat ulang tahun dan dan pesan yang membuatku teringat pada kata Wulan dan Veny. Entar nyesal baru tau, ucap mereka saat itu.
Kubuka kado dari Deri yang terletak di depanku. Tak kupedulikan lagi ponselku. Kotak besar yang terbungkus kertas kado pink itu berisi bantal bola basket dan bola basket asli serta sepasang baju basket yang sangat aku inginkan dari dulu.
Ingatanku kembali saat Deri bilang suka padaku di lapangan basket ketika aku sedang latihan. Di selipan baju kutemukan kertas bertuliskan, Dear Gezi, gadis pemain basketku. Kubaca satu demi satu kalimat yag ada di kertas itu. Mataku berhenti pada kalimat Aku sayang kamu, tapi aku merasa kamu tidak sayang padaku. Semoga dengan bertambahnya umur kamu, kamu lebih dewasa untuk menghargai sesuatu yang penting di hidupmu, khususnya perasaan orang-orang yang menyayangi kamu.
Deri Gusryza
Kulipat kertas itu kurebahkan tubuhku di atas kasur. Kupejamkan mataku. Lagi-lagi otakku kembali memutar rekaman tentang sosok cowok yang pernah singgah di hatiku itu.***